Menakar Urgensi Akreditasi Perguruan Tinggi

Print

User Rating: 0 / 5

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

A. Hilal Madjdi

Beberapa pengguna ulusan perguruan tinggi (perusahaan/institusi) meminta peringkat/ status akreditasi perguruan tinggi (APT) sebagai salah satu syarat yang harus dilampirkan dalam surat lamaran pekerjaan.

Fenomena ini memang menarik dan menjadi daya dorong yang sangat kuat bagi perguruan tinggi untuk membenahi diri guna meraih peringkat akreditasi yang berterima (level a atau b untuk peringkat versi lama atau  level baik, baik sekali dan unggul untuk peringkat versi baru).

Hiruk pikuk tentang APT ini semakin menghangat ketika muncul beberapa pertanyaan kritis tentang seberapa pentingnya nilai akreditasi tersebut bagi lulusan perguruan tinggi. Apalagi jika dipaparkan dengan kenyataan di mana kompetensi pencari kerja sebenarnya juga menjadi pertimbangan penting, di samping performa kepribadian yang bersangkutan, bagi perusahaan atau institusi yang ingin memanfaatkan lulusan perguruan tinggi.

Pertanyaan-pertanyaan kritis di atas akhirnya bermuara pada dua hal yang sangat dikotomis. Pertama: status APT bias diyakini sebagai simbol kehebatan institusi yang untuk konteks sosial di indonesia bias berlebihan.

Sebagai contoh, masyarakat sangat terbiasa dengan kondisi di mana “nama institusi” saja sudah dipersepsi memiliki nilai lebih atau sebaliknya. Kedua; keyakinan yang berlebih di atas akan membawa “korban”, yaitu lulusan perguruan tinggi dengan status APT kurang baik, tetapi secara personal yang bersangkutan memiliki performa akademik dan kepribadian yang baik. Jika pengguna lulusan “hanya” melihat dan meminta lampiran status APT almamater pencari kerja, maka sang pencari kerja akan tersingkir sebelum bertanding.

Memahami APT

Secara mudah akreditasi perguruan tinggi dapat dijelaskan sebagai salah satu system penjaminan mutu eksternal atau pengakuan formal oleh lembaga yang berwenang untuk menilai dan menyatakan bahwa suatu institusi (perguruan tinggi) mempunyai kemampuan untuk melakukan kegiatan, memiliki kapasitas dan kualitas tertentu.

Tujuannya adalah untuk memberikan jaminan (assurance) dan melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak kredibel oleh perguruan tinggi. Secara praktis akreditasi dapat juga dipahami dalam dua sisi yang saling melengkapi dan menyempurnakan, yaitu proses dan status.

Proses yang ditempuh dalam meraih APT dipastikan akan memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa proses kegiatan akademik telah dilakukan sesuai dengan standar mutu sesuai undang-undang dan bahwa perguruan tinggi tersebut melakukan perbaikan secara berkelanjutan melalui evaluasi diri.

Sementara status APT memberikan jaminan bahwa perguruan tinggi tersebut telah memenuhi standar mutu yang ditetapkan.penilaian akreditasi prodi/perguruan tinggi didasarkan pada 7 standar, yaitu visi, misi, tujuan dan sasaran, dan strategi pencapaian; tatap among, kepemimpinan, sistem pengelolaan, dan penjaminan mutu; mahasiswa dan lulusan, ini biasanya dilihat questioner para lulusannya, IP yang diraih para  mahasiswanya, rekrutmen mahasiswa; sumber daya manusia (SDM) seperti jumlah dosen, kualifikasi dosen, pengembangan dosen; kurikulum, pembelajaran, dan suasana akademik; pembiayaan, sarana dan prasarana, serta system informasi dan penelitian (jurnal, karya ilmiah, dll) dan pelayanan/pengabdian kepada masyarakat, dan kerjasama.

Oleh karena itu, secara singkat proses akreditasi perguruan tinggi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, para pemangku kepentingan di perguruan tinggi melakukan evaluasi diri (self evaluation) terhadap berbagai kegiatan tri dharma dan tata kelola perguruan tinggi. Laporan evaluasi ini menjadi sangat penting karena akan menjadi dasar pengisian/ menjawab beberapa pertanyaan (borang) akreditasi.

Selanjutnya, evaluasi dan boring akreditasi dikirim ke BAN-PT yang akan mengirim assessor untuk melakukan kunjungan lapangan (site visit) untu kmelakukan validasi lapangan setelah sebelumnya melakukan “desk evaluation”.

Dari pemaparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan akreditasi adalah untuk memberikan jaminan kepada masyarakat, bahwa program studi atau perguruan tinggi yang terakreditasi telah memenuhi standar mutu yang ditetapkan serta memberikan perlindungan bagi masyarakat dari penyelenggaraan program studi yang tidak memenuhi standar.

Di samping itu, akreditasi dapat mendorong program studi/ perguruan tinggi untuk secara berkelanjutan melakukan perbaikan, sehingga mampu mempertahankan  atau meningkatkan kualitas yang lebih baik.

Selanjutnya, hasil akreditasi dapat menjadi referensi bagi masyarakat, instansi swasta maupun pemerintah dalam mengambil keputusan atau menentukan langkah-langkah yang berkenaan dengan program studi/perguruan tinggi terkait.

Urgensi APT

Mencermati perkembangan masyarakat dan pengguna lulusan perguruan tinggi yang semakin kritis dan cerdas, status APT memang penting dan tidak boleh diabaikan oleh siapapun, apalagi oleh perguruan tinggi.

Alasannyaa dalah bahwa status APT merupakan pertanggungjawaban atau akuntabilitas public tentang kepastian terpenuhinya atau bahkan terlampauinyas tandar yang ditetapkan undang-undang.

Kepastian ini bahkan menjadi legitimasi yang membranding perguruan tinggi yang bersangkutan di tengah-tengah percaturan akademik perguruan tinggi se Indonesia dan bahkan seluruh dunia. Dengan kata lain, secara kelembagaan status APT harus melekat dan menjadi wajah yang bias ditatap secara terang oleh siapapun.

Akan tetapi, para pengguna lulusan tentu akan selalu memperhatikan dan mengkritisi secara cerdas setiap produk perguruan tinggi, apapun status akreditasi perguruan tinggi tersebut. Dalam konteks mahasiswa saja, misalnya, dalam setiap seremoni wisuda, pasti diumumkan peringkat kelulusan yang tidak sama.

Di sisi lain, dalam konteks dunia kerja, peringkat kelulusan tertinggi tidak merupakan jaminan bahwa yang bersangkutan memiliki performa kerja yang baik, memiliki kemampuan bekerjasama dan berkomunikasi secara baik, dapat menghargai orang lain, mampu memimpin dan bertanggungjawab terhadap pekerjaannya, dan lain sebagainya.

Performa non akademik yang dikenal secara popular sebagai “soft skill” itu memang sampai saat ini belum bias ditarik garis sejajar dengan performa akademik. Itulah sebabnya, dalam berbagai kesempatan para ahli pendidikan selalu mendorong pentingnya pendidikan karakter terhadap siswa dan mahasiswa agar mereka dapat menapak masa depan dengan lebih tegak dan mencapai keberhasilan optimal.

Urgensi akreditasi perguruan tinggi, dengan demikian, tidak bias ditakar secara tekstual seperti yang tertera dalam surat keterangan atau sertifikat BAN PT, tetapi sebaiknya ditakar secara komprehensif dalam konteks sosial yang berperadaban. Sebab standar yang telah ditetapkan itu sebenarnya menyasar pada sumber daya manusia (dosen dan mahasiswa) yang memiliki karakter yang sangat fluktuatif dan tidak mudah distandarkan. (*)

 
Dr. A. Hilal Madjdi, M.Pd.,
Wakil Rektor II Universitas Muria Kudus